Kamis, 03 Mei 2012

kejayaan islam


Perkembangan Islam pada Kekuasaan Mamluk di Mesir
  1. Daulah Mamluk di Mesir       
Mesir adalah Negeri Islam yang selamat  dari serangan bangsa Mongol, baik  Hulagu Khan maupun Timur Lank. Karena negeri ini terhindar dari kehancuran maka persambungan perkembangan peradaban dengan masa klasik relatif terlihat dan beberapa diantara prestasi yang pernah docapai pada masa klasik bertahan di Mesir. Kendati demikian kemajuan yang dicapai oleh dinasti ini masih di bawah prestasi yang pernah dicapai oleh umat islam pada masa klasik.
            Hal itu mungkin karena metode berpikir tradisional sudah tertanam sangat kuat sejak berkembangnya theologi Asy’ariyah, filsafat mendapat kecaman sejak pemikiran Al-Ghazali mewarnai pemikiran mayoritas umat Islam. Terlebih karena Baghdad dengan fasilitas-fasilitas ilmiahnya yang sudah barang tentu memberi inspirasi ke pusat-pusat peradaban  Islam, hancur oleh serbuan Mongol dibawah komando Hulagu Khan.[1]
            Saat itu yang berkuasa di Mesir adalah Al-Malikussaleh dia adalah penguasa Ayyubiyah yang terakhir kemudian setelah Malikussaleh meninggal pada tahun 1249, tampuk kepemimpinan sementara dipegang oleh permaisurinya yang bernama Syajaratud Dur. Pada mulanya dia adalah seorang budak sahaya Armenia yang dihadiahkan khalifah Musta’shim dari Baghdad kepada MalikusShaleh dari Najmuddiyn Ayyub, Sultan Ayyubiyyah di Kairo. Syajaraatuddur yang kemudian dimerdekakan dan diangkat menjadi permaisuri.[2] kepempimpinan Syajaaratudur berlangsung sekitar 3 bulan sampai terusirnya tentara Salib ke-7. Kemudian ia memanggil putra suaminya, Tauron Syah untuk menduduki takhta kerajaan. Namun Tauron syah tidak menghargai usaha ibu tirinya. Ia bahkan berusaha menyingkirkannya. Karena itu Syajarotud Dur  kemudian meminta bantuan kaum Mamluk dibawah pimpinan Izzudin Aybak dan Baybars dan terjadilah kudeta  yang berakhir dengan terbunuhnya Tauron Syah pada tahun 1250M. Syajarotud Dur kemudian menikah dengan  Izzuddiyn Aybak  yang notabene adalah pemimpin Mamluk  dan kemudian menyerahkan tampuk kepempimpinan kepadanya sambil berharap dapat berkuasa di belakang tabir. Namun setaelah itu Aybak membunuh Syajaaratuddur  dan mengambil sepenuhnya kendali pemerintahan.[3] Dengan berkuasanya Aybak mulailah Daulah Mamluk Al- Bahriyah (1250-1275).
            Sebutan Mamluk bermakna hamba sahaya. Hal ini disebabkan para para panglima yang memegang kekuasaan ketentaraan saat itu berasal dari hamba sahaya yang dibeli lalu diasuh semenjak kecil dan dilatih, terdiri atas berbagai keturunan kebangsaan. Mereka menjadi pejuang-pejuang Islam yang perkasa. Bagian yang melaksanakan kudeta itu bermarkas di kota benteng terletak pada sebuah pulau di sungai Nil di depan kota Kairo maka disebutlah Bahriyah .[4]
            Aibak berkuasa selama 7 tahun (1250-1257 M). Setelah meninggal ia digantikan oleh anaknya, Ali yang masih berusia muda. Dia kemudian mengundurkan diri pada tahun 1259 M dan digantikan oleh wakilnya, yang bernama Qutuz. setelah Qutuz naik tahta, Baibars kembali ke Mesir. Di awal tahun 1620 M Mesir terancam serangan bangsa Mongol yang sudah berhasil menguasai hampir seluruh dunia Islam. kedua tentara bertemu di A’yn Jalut dan pada tanggal 13 September 1260 M tentara Mamluk di bawah pimpinan Qutuz dan Baibars berhasil mengalahkan pasukan Mongol tersebut.
            Tidak lama setelah itu Qutuz meninggal dunia, dan digantikan oleh Baibars, seorang pemimpin militer yang tangguh dan cerdas, ia berkuasa pada tahun 1260-1277 M, Ia adalah Sultan terbesar dan termasyhur diantara 47 Sultan mamluk. Setelah Baibars tampuk kekuasaan dilanjutkan oleh Qalawun, sultan-sultan inilah yang meninggalkan jejak besar Islam dalam sejarah Mesir. Baibars, paska kemenangan di A’yn Jalut dan hendak merembut kembali kota-kota benteng yang dikuasai oleh bangsa Salib, kota benteng Arsuf, Safad, Arkad, kota Antioch dan mengepung kota Oka hingga akhirnya pada tahun 1272 M pimpinan tentara Salib Perancis Edward Of England, meminta gencatan senjata selama 10 tahun dengan kesediaan membayar upeti  tahunan ke Mesir.[5]
Sulatan Baibars mengadakan berbagai pembanguna di Mesir, Syria dan Palestina. Ada dua tradisi yang tercipta pada masa Baibars. Pertama, mempersiapkan kiswah untuk Baitullah di Mekah Al-mukarramah  dan diantar pada setiap musim haji. Kedua, menempatkan empat Imam (Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hambali) pada keempat penjuru Baitullah.
Kemudian tradisi itu dilanjutkan oleh Raja selanjutnya oleh Sultan Qalawun yang juga banyak mendirikan bangunan di Mesir yang masih dikaguminya sampai sekarang, baik bangunan yang bersifat sosial seperti rumah sakit, rumah anak yatim dan penampungan anak cacat. Sultan Qalawun juga dapat menghancurkan serangan bangsa Mongol  yang dipimpin oleh Abaga khan anak dari Hulagu Khan yang ingin menbus kekalahan ayahnya. Pertempuran pecah di wilayah Homs, Syria Utara dan pasukan Mongol pun hancur.
            Qalawun selanjutnya menghancurkan tentara Salib sehingga tamatlah kekuasaan Salibiyah yang sudah berjalan dua abad lamanya dan habislah angan-angan yang ingin hendak menguasai makam suci dan membebaskan kota kelahiran Nabi Isa yang disebut-sebut sebagai penebus dosa mereka. Satu-satunya kota yang masih mampu mempertahankan diri adalah bandar Okka. baru setelah itu jatuh di tangan putranya yaitu, Sultan Ashraf Shilaahuddin Khalil (1290-1293 M), kota benteng Okka dapat dikuasai kembali pada tahun 1291 M. Semenjak itulah kekuasaan Barat sepenuhnya yang berakhir pada masa puluhan abad lamanya. Baru pada Perang Dunia I (1914-1918) Mesir dan Palestina jatuh ke kekuasaan Inggris dan Lebanon serta Syiria jatuh ke bawah kekuasaan Perancis.
  1. Peradaban pada Masa Dinasti Mamalik
            Dinasti Mamalik membawa warna baru dalam sejarah politik Islam. Pemerintahan dinasti ini bersifat oligarki militer, kecuali dalam waktu yang singkat ketika Qolawun (1280-1290 M) menerapkan pergantian sultan secara turun-temurun. Anak Qolawun berkuasa hanya empat tahun, karena kekuasaannya direbut oleh Kitbugha (1295-1297M). Sistem pemerintahan oligarki ini banyak mendatangkan kemajuan di Mesir. Kedudukan amir menjadi sangat penting. Para amir berkompetisi dalam prestasi, karena mereka merupakan kandidat sultan. Kemajuan-kemajuan itu dicapai dalam berbagai bidang, seperti konsolidasi pemerintahan, perekonomian, dan ilmu pengetahuan.
            Dalam bidang pemerintahan, kemenangan dinasti Mamalik atas tentara Mongol di ‘Ayn Jalut menjadi modal besar untuk meguasai daerah-daerah sekitarnya. Banyak penguasa-penguasa dinasti kecil menyatakan setia kepada kerajaan ini. Untuk menjalankan pemerintahan didalam Negeri, Baybars mengangkat kelompok militer sebagai elit politik. Disamping itu, untuk memperoleh simpati dari kerajaan-kerajaan Islam lainnya, Baybars membaiat keturunan Bani Abbas yang berhasil meloloskan diri dari serangan bangsa Mongol, Al-Muntashir sebagai kholifah. Dengan demikian, khilafah Abbasiah, setelah dihancurkan oleh tentara Hulago di Baghdad berhasil dipertahankan oleh dinasti ini dengan Kairo sebagai pusatnya.[6]
            Dalam bidang ekonomi, dinasti Mamalik membuka hubungan dagang dengan Perancis  dan Italia melalui perluasan jalur perdagangan yang sudah dirintis oleh dinasti Fatimiyah di Mesir sebelumnya. Jatuhnya Baghdad membuat Kairo sebagai jalur perdagangan antara Asia dan Eropa, menjadi lebih penting karena Kairo menghubungkan jalur perdagangan Laut Merah dan Laut Tengah dengan Eropa. Disamping itu, hasil pertanian juga meningkat. Keberhasilan dalam bidang ekonomi ini didukung oleh pembangunan jaringan transportasi dan komuniasi antar kota, baik laut maupun darat. Ketangguhan angkatan laut  Mamalik, sangat membantu pengembangan perekonomiannya.
            Dibidang ilmu pengetahuan, Mesir menjadi tempat pelarian ilmuwan-ilmuwan asal Baghdad dari serangan tentara Mongol. Karena itu, ilmu-ilmu banyak berkembang di Mesir, seperti sejarah, kedokteran, astronomi, matematika, dan ilmu agama. Dalam ilmu sejarah tercatat  nama-nama besar, seperti Ibnu Kholikan, Ibnu Tagribardhi, dan Ibnu Khaldun. Dibidang astronomi dikenal nama Nasiruddin At-Tusi. Di bidang matematika Abul Faraj Al-‘Ibry. Dalam bidang kedokteran Abul Hasan ‘Aly An-Nafis, penemu susunan dan peredaran darah dalam Paru-paru manusia, Abdul Mun’im Ad-Dimyati, seorang dokter hewan, dan Ar-Razi, perintis psikoterapi. Dalam bidang opthalmologi dikenel nama Salahudddin Ibnu Yusuf. Sedangkan, dalam bidang ilmu keagamaan, tersohor nama Ibnu Taimiyah, seorang pemikir reformis dalam Islam, As-Suyuti yang menguasai banyak ilmu keagamaan, Ibnu Hajar Al-‘Asqolany dalam ilmu Hadis dan lain-lain.[7]
            Dalam ilmu-ilmu sosial, kontribusi utama pada periode Mamluk adalah dalam bidang biografi. Penulis biografi yang paling terkemuka adalah Syamsuddin Ahmad ibnu Muahammad ibnu Khalikkan, keturunan Yahya ibnu Khalid ai-Barmaki yang lahir di Irbil pada 1211M. Ia dididik di Aleppo dan Damaskus. Ia menduduki jabatan ini dengan satu kali interval selama tujuh tahun, hingga beberapa saat sebelum kematiannya (1282M). Karyanya yang berjudul Wafayat al-Ayan wa Anba’ Abna’ az-Zaman (Kisah Orang-orang Terkemuka dan Sejarah Para Pelopor Zaman) adalah suatu koleksi akurat dan penting, yang menghimpun 685 biografi tokoh Islam terkemuka. Karya ini menjadi kamus biografi nasional pertama dalam bahasa Arab. Penulis karya ini bersusah payah menuliskan dengan baik dan ejaan nama-nama, menyajikan data-data yang akurat, jejak-jejak genealogi, fakta-fakta aktual, menunjukkan karakteristik utama setiap individu, dan menggambarkan berbagai peristiwa penting,  serta diperkaya dengan ilustrasi berupa puisi dan anekdot. Hasilnya, karya ini oleh sebagian penulis disebut sebagai “biografi umu terbaik yang pernah ditulis”.[8]  
            Keturunan yang akhir dari Mamalik Bahriyah namanya Haji as-Shalih Zaenuddin bin Asyaraf  Sya’ban masih berusia enam tahun. Maka diangkatlah sebagai pemangku raja al-Malikus Zahir Saefuddin Barquq. Semenjak itu mulailah dinasti Mamalik Jarakesah (Mamluk Barji).[9]
            Di masa Mamluk, banyak lahir ilmuwan-ilmuwa besar, diantaranya Ibnu Nafis yang oleh pengagumnya digelari  The Second Avisenna (Ibnu Sina Kedua). Diantara karya-karya Ibnu Nafis adalah:
  1. Kitab as-Syamil fi at-Thibb, sebuah ensiklopedi kedokteran lengkap yang terdiri dari  27.000 folio yang tersebar dalam 8 jilid tebal.
  2. Kitab al-Muhadzdzab fi al-Khul, sebuah buku yang mencakup hampir seluruh cabang ilmu kedokteran Arab pada waktu itu. Buku ini banyak digunakan oleh penulis kedokteran di kemudian hari.
  3. Mujiz al-Qonum, sebuah intisari lengkap buku Qonun Ibnu Sina, kecuali masalah anatomi (ilmu urai tubuh) dan fisiologi (ilmu fa’al tubuh) yang tak termasuk didalamnya.
  4. Komentar terhadap buku Masail fi at-Thibb karya Hunain ibnu Ishak.
  5. Komentarnya secara lebih luas terhadap Qonunnya Ibnu Sina, khususnya masalah yang berkaitan dengan anatomi dari tiga bagian pertama dari Qonun. Ia memberi komentar dalam bukunya yang berjudul I the lesser or pulmonary circulation of the blood,            yang tercatat sebagai prestasi paling penting dalam lapangan kedokteran. [10] 
Ilmuwan lain yang terkenal pada zaman Mamluk adalah Abu Fida, seorang ahli geografi dan Sejarah. Diantara karya-karyanya yang terkenal adalah:
1.      Mukhtasir Tarikh al-Bashar, sebuah buku sejarah universal, mencakup pra-Islam dan sejarah Islam sampai tahu 1329M.
2.      Takwin al-Buldan, sebuah deskripsi geografis yang dilengakapi sejumlah data dalam bentuk tabel-tabel, matematika, dan fisika. [11]
Ibnu Khaldun, adalah seorang ilmuwan muslim yang cukup fenomenal. Lahir pada tahun 1332. Ia adalah seorang ilmuwan yang sangat terkenal dan pemikirannya begitu familiar dikalangan intelektual modern sekalipun. Dalam mengemukakan pemikirannya, ia lebih cenderung tertuju pada aspek sosial. Dalam bidang inilah ia memberikan sumbangan keilmuan yang sangat krusial. Ibnu Khaldun menganggap bahwa the history of science and sociology adalah dua ilmu yang berasal sama. Mempelajari sosiologi adalah penting sebagai pengantar kepada kajian sejarah. Baginya, sejarah harus diterangkan berdasarkan bukti-bukti empiris menurut hasil observasi dan penelitian yang dilakukan secara obyektif.


[1] Badri Yatim, sejarah peradaban islam (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2010), hal:124.
[2] Musyrifah Sunanto, sejarah islam klasik (jakarta:kencana, 2007), hal:204.                            
[3] Badri Yatim, ibid., hal. 125
[4]Musyrifah Sunanto, Ibid, hal:205
[5] Musyrifah Sunanto, Ibid, hal:207
[6] Badri Yatim, ibid, hal. 127.
[7] Badri Yatim, ibid, hal. 128
[8] Philip K. Hitti, Terjemah History of The Arabs, hal. 880
[9] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, hal. 209
[10] ibid, hal. 214
[11]  ibid, hal. 215

Tidak ada komentar:

Posting Komentar